Minggu, 03 Juni 2012

MY IDOL ARROGANT


MY IDOL ARROGANT

“Aku berjanji, ketika kau bangun aku berjanji akan bersamamu. Selamanya” suara seorang pria yang agak asing di telingaku itu masih tergiang-ngiang di kepalaku. Masih ingat aku setiap detail kata yang keluar dari mulutnya.
            Aku menatap wajah kedua orang tuaku satu persatu dan itu bukan suara dari mereka. Aku mencoba untuk mencermati suara kakak perempuanku dan itu juga bukan suaranya. Aku sangat yakin kalau itu adalah suara seorang pria bukan suara yang biasa aku kenal dalam sehari – hari.
 Ini hari ke tiga setelah aku bangun dari keadaan komaku. Sebuah kecelakaan yang membuatku seperti orang mati, tertidur selama satu bulan. Aku ingat sedikit demi sedikit detik-detik kecelakaan itu dan aku berhasil menyusun kembali serpihan-serpihan ingatan yang sudah susah payah aku  susun itu
***
Sebulan yang lalu...
“Alan! Alan!” teriakku pada malam itu.
Malam itu adalah kedatangan Alan Chistian datang ke kotaku. Dan aku ikut dalam robongan penggemar Alan untuk menjemputnya di bandara. Malam itu sangat terasa panas, meskipun di bandara memiliki banyak pendingin udara tetap saja udara di dalam sana sangat panas karena begitu banyak manusia terutama yang menunggu kedatangan Alan.
Ketika Alan keluar bandara begitu banyak para penggemar berusaha mendekatinya. Aku tahu aku tidak mungkin bisa mendekatinya meskipun dalam jarak satu meter. Dan aku mendapat ide untuk mengetahui tempat dia akan beristirahat.
Aku adalah penggemar berat Alan Chistian. Dia adalah pria yang sangat tampan, pandai dan sangat ramah – tamah. Sudah setahun ini aku terus mengikuti perkembangan Alan dan ini akhirnya, bisa melihat wajahnya secara langsung apa lagi bisa memegang wajahnya.
Dengan sepeda motor yang aku kendarai sendiri menuju bandara, aku juga mulai mengikuti mobil yang membawa Alan dan ternyata bukan hanya aku saja yang memiliki ide untuk mencaritahu tempat peristirahatan Alan tapi juga beberapa anak – anak remaja mengikuti mobil Alan. Dan saat itu juga kejadian naas itu terjadi...
Aku memacu kendaraanku dengan kecepatan 70km/jam dan itu masih belum bisa mengalahkan kecepatan mobil yang membawa Alan itu. Aku berusaha mendekati mobil itu tapi tidak bisa. Akhirnya aku memberanikan diriku untuk melebihi kecepatan kendaraanku dari yang sebelumnya. Terfokus pada mobil yang membawa Alan, aku bahkan tidak menyadari kalau lampu lalu lintas yang ada di depanku saat itu sudah berubah menjadi merah dan yang kuingat saat itu hanya lampu terang yang sangat cepat menuju kearahku.
***
Aku melihat kesekelilingku, aku melihat kedua orangtuaku hanya berdiri di belakang orang-orang yang tak aku kenal sambil terus mengarahkan kameranya padaku, begitu juga dengan kakak perempuanku – Raisa yang dari tadi hanya tersenyum tipis padaku.
“Apa komentar anda nona Raika?” seorang perempuan yang kira – kira seumuran dengan Raisa mencoba mengajakku bicara.
“A... Hmm...” hanya gumaman yang keluar dari mulutku. Aku bingung harus menjawab apa karena aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Biarkan dia istirahat dulu.Wawancara itu bisa kapan sajakan?” suara itu terdengar kembali. Suara yang sama dengan suara yang aku dengar waktu itu.
Aku berusaha memicingkan mata, memfokuskankan pengelihatanku pada pintu dan masuklah seorang pria dengan stelan jas. Ia berjalan mendekatiku perlahan tapi pasti dan aku bisa katakan dengan penuh keyakinan kalau itu adalah Alan Chistian.
Aku bahkan perlu memperhatikannya dengan seksama agar aku tidak keliru kalau itu benar-benar Alan Chistian. Ia berbicara pada kru yang ada di kamar itu lalu kru-kru itu pergi, mungkin karena aku terlalu fokus padanya sehingga aku tidak mendengar apa yang ia katakan. Sadar-sadar tangannya sudah menjulur padaku.
“Ayo kita pergi dari sini. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang indah” lalu ia tersenyum padaku.
Tanpa sadar aku meraih tangannya dan ikut bersamanya. Ia membuka pintu mobil lalu ia memasangkan sabuk pengaman padaku. Masih belum ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Ia memacu mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit. Sepanjang jalan ia hanya diam begitu juga denganku dan sampailah kami di sebuah danau. Lalu ia turun dari mobil, aku hanya melihat ke arahnya dan berinisiatif untuk turun juga.
Aku berdiri di sebelahnya, melihatnya dari samping ia kelihatan sangat tampan bahkan lebih tampan daripada ketika aku melihatnya di televisi. Lalu tiba-tiba ia melihat ke arahku dan aku sangat kaget dengannya.
“Jangan anggap semua ini sungguhan. Ini hanya permainan untuk menaikkan rating filmku. Ingat! Ini hanya permainan. Jangan pernah kau menganggap kalau aku benaran suka denganmu!” Alan tiba-tiba membentakku.
Senyuman yang sedari tadi terus menghiasi wajahku langsung lenyap begitu saja. Aku sangat terkejut dengan sikapnya yang sangat berbeda 180ยบ dari yang aku lihat di televisi. Tanpa sadar yang muncul dari wajahku adalah wajah kekesalan.
“Kau dengar aku tidak?” ia tersenyum “Aku tahu kau adalah penggemar beratku. Ketika pertama kali kita ketemu langsung aku bisa membaca wajahmu kalau kau suka denganku. Iyakan?!” ia kembali tersenyum. “Tapi jangan harap kalau aku akan jatuh cinta dengan cewek biasa sepertimu.”
Seketika itu juga aku langsung menamparnya. Enak saja ia berkata seperti itu, kalau aku tahu dia mempunyai sikap seperti itu lebih baik aku tidak perlu mengidolakannya. Tanpa mengatakan apapun aku pergi meninggalkannya.
Ia memegangi pipi kanannya yang memerah akibat tamparanku karena kesal ia menarik tanganku dengan keras lalu spontan aku injak kaki kirinya dan itu cukup berhasil membuatnya melepaskan genggamannya padaku. Lalu ia kembali mengejarku dan langsung berusaha menciumku tentu saja dengan susah payah aku melawannya.
“Bukankah ini yang kau inginkan! Dicium oleh idola terkenal sepertiku!”
Aku pun akhirnya menggigit bibirnya sangking kesalnya. Aku benar-benar tidak pernah bertemu dengan orang sebrengsek dia. Ia mengatasnamakan seorang idola tapi sikapnya ini tidak lebih dari seorang maniak mesum.
Aku meninggalkannya, di belakang aku mendengarnya berteriak kepadaku dan aku tetap tidak menghiraukannya.
“Lihat saja nanti, aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi. Jangan harap seumur hidupmu bisa bertemu denganku!!!” itu kata terakhir yang aku dengar darinya.
***
“Kapan aku bisa keluar dari rumah sakit?” aku menanyakan hal itu berulang kali kepada Raisa. Aku sudah merasa sangat bosan dengan keadaan di rumah sakit.
“Nanti” itu jawaban singkat dari Raisan sambil terus membaca majalahnya yang baru saja ia beli.
Aku menghela nafas “Apa kau tidak bisa tidak usaha membaca majalah itu di depanku?”
“Kenapa?”
“Kenapa? Tentu saja karena cover depan majalahmu muka si brengsek itu!”
Ia melihat cover majalah itu dan wajah Alan terpampang di halaman depan majalah itu “Oh... bukannya kau sangat suka padanya. Sekarang nikmati keberuntunganmu saat ini.”
“Keberuntungan?! Ini bukan keberuntungan tapi kesialan?!”
“Memangnya kenapa kau? Baru di bawa pergi satu kali saja sudah merasa kalau Alan sudah jadi milikmu.” Ia masih belum beranjak dari bacaannya.
“Itu karena? Karena? Arg! Lupakan saja!”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan begitu banyak wartawan masuk ke dalam dan di depan wartawan-wartawan itu ada si Brengsek Sialan itu – Alan. Melihat hal itu Raisa langsung bangkit dari tempat duduknya.
“Ini dia gadis yang beruntung yang akan kencan denganku dalam sehari penuh ini”
Aku hanya bisa ternganga kesal...
***
Alan berusaha menemukan sebuah baju yang cocok denganku di sebuah butik yang cukup terkenal di kotaku dan aku hanya bisa diam menatapnya.
“Aku sudah menemukannya!” ia tampak kegirangan. “Cobalah ini, pasti akan sangat cantik ketika kau memakainya.”
Aku berjalan perlahan menujunya dan memegang baju ini lalu ia menarik tanganku “Berusahalah untuk tersenyum selama seharian penuh ini.” Berikut dengan nada menjengkelkannya itu.
Aku meliriknya lalu pergi ke ruang ganti sambil membawa baju itu. di dalam ruang ganti aku hanya bisa mencibirnya. Aku harus tenang, itu yang ada di dalam pikiranku saat ini. Setelah selesai aku memakai baju itu aku keluar. Aku sangat terkejut karena baju itu sangat pas denganku. Alan tahu memprediksikan ukuran bajuku???
“Sangat cantik! Aku sangat suka” itu yang keluar dari mulutnya bukan ejekan atau hinaan yang keluar. Ia tersenyum padaku dan seketika itu dalam hitungan beberapa detik aku sempat terpesona dengan senyumannya itu.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan aku hadir ke dalam dunia nyata lagi. Dia bukan seorang pangeran tapi di seorang penjagal. Lalu kami pergi ke danau tempat kami dulu berkelahi. Kami berdua duduk di pinggir danau untuk pengambilan gambar. Pura-pura ngobrol dengan asyik saling mengakrabkan diri.
Aku dan Alan saling mengucapkan terima kasih pada para kru. Setelah para kru pergi tinggallah kami berdua.
“Bersabarlah sedikit, tinggal bagian makan malam lagi setelah itu kita tidak akan bertemu lagi” kali ini cara bicaranya tidak begitu menjengkelkan seperti yang kemarin-kemarin.
Ia melihat ke arahku dan aku mengacuhkannya, aku hanya melihat ke arah danau. Dan sepertinya ia menunggu jawabanku karena tidak ada jawaban ia pergi. Tidak jauh ia pergi tiba-tiba aku ingin mengerjainya.
“Tolong!” aku menceburkan diriku ke danau dan pura-pura tidak bisa berenang.
Aku melihatnya hanya berdiam diri di atas sekilas aku melihat wajah panik darinya. Ia melihat kesekelilingnya tidak ada orang dan akhirnya ia menceburkan dirinya. Dan bukannya datang menyelamatkanku ia malah meminta tolong juga. Ternyata ia tidak bisa berenang.
Secepat kilat aku berenang mendekatinya, membawanya ke pinggir danau. Ia pingsan, aku pun mulai panik. Aku mendekatkan telingaku ke hidungnya dan tidak terdengar ada nafasnya. Aku melihat kesekelilingku dan tetap tidak ada orang. Akhirnya aku memberikan nafas buatan untuknya, aku memang tidak tahu caranya tapi tidak ada salahnya mencoba.
Beberapa kali aku memberinya nafas buatan akhirnya ia sadar. Ia terbatuk dan sadar lalu tanpa sadar aku memeluknya sambil menangis.
“Maafkan aku... maafkan aku... maafkan aku” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku selain tangisan.
***
Alan lalu berdiri mendekatiku dan menuju ke arah belakangaku lalu ia memasangkan sebuah kalung yang sangat indah. Setelah itu ia kembali ke tempat duduknya sambil terus menebarkan senyumannya padaku.
Saat pertama kali aku sampai di danau itu, pinggiran danau itu sudah di sulap oleh para kru menjadi sebuah tempat yang sangat indah. Di pinggir danau terdapat sebuah meja makan dan dua buah kursi dengan beberapa hidangan yang terlihat sederhana tapi sangat enak. Aku ingat ketika baju indah ini sampai di rumahku dan aku membaca surat yang ada di dalamnya.
“Aku harap kau mau memakai baju ini. Alan” itu isi suratnya. Tapi sepertinya sangat berarti bagiku.
Aku mendekat, semakin dekat dengan tempat duduk itu, lalu Alan datang tiba-tiba di belakangaku dan mempersilahkanku duduk. Ia tampak kelihatan sangat tampan dengan setelan jas yang ia gunakan.
Lalu ia berbisik padaku “Kau sangat cantik malam ini.”
Tanpa sadar aku tersenyum. Alan yang aku lihat malam itu adalah Alan yang selalu aku impikan selama ini sangat berbeda dengan Alan yang aku temui beberapa hari lalu. Dan kami mulai berbincang-bincang dengan santai menikmati malam itu.
Sampai acara pengambilan gambar untuk sebuah reality show itu selasai kami masih nyaman dengan keadaan saat itu. Semua kru sudah mulai bersiap-siap untuk pulang.
“Boleh aku meminta satu hal padamu?” tanya Alan padaku.
“Tentu saja. Apa?”
“Aku ingin kau selalu menyimpan kalung itu selamanya.”
Aku tersenyum “Aku akan selalu menyimpannya.”
Ia menatapku “Tapi aku ingin kau bukan hanya menyimpan kalung itu di dalam lemari atau laci di kamarmu tapi yang aku inginkan adalah kau selalu menyimpan kalung itu di dalam hatimu.”
Aku sedikit heran dengan perkataan Alan “Tapi kalung tidak bisa di simpan di ha-” kata-kata itu terhenti ketika Alan langsung menciumku.


TAMAT