MY IDOL ARROGANT
“Aku berjanji, ketika kau bangun aku berjanji akan
bersamamu. Selamanya” suara seorang pria yang agak asing di telingaku itu masih
tergiang-ngiang di kepalaku. Masih ingat aku setiap
detail kata yang keluar dari mulutnya.
Aku
menatap wajah kedua orang tuaku satu persatu dan itu bukan suara dari mereka.
Aku mencoba untuk mencermati suara kakak perempuanku dan itu juga bukan
suaranya. Aku sangat yakin kalau itu adalah suara seorang pria bukan suara yang
biasa aku kenal dalam sehari – hari.
Ini hari ke tiga setelah aku bangun dari
keadaan komaku. Sebuah kecelakaan yang membuatku seperti orang mati, tertidur
selama satu bulan. Aku ingat sedikit demi sedikit detik-detik kecelakaan itu
dan aku berhasil menyusun kembali serpihan-serpihan ingatan yang sudah susah
payah aku susun itu
***
Sebulan yang
lalu...
“Alan!
Alan!” teriakku pada malam itu.
Malam
itu adalah kedatangan Alan Chistian datang ke kotaku. Dan aku ikut dalam
robongan penggemar
Alan untuk menjemputnya di bandara. Malam itu sangat terasa panas, meskipun di
bandara memiliki banyak pendingin udara tetap saja udara di dalam sana sangat
panas karena begitu banyak manusia terutama yang menunggu kedatangan Alan.
Ketika
Alan keluar bandara begitu banyak para penggemar berusaha mendekatinya. Aku
tahu aku tidak mungkin bisa mendekatinya meskipun dalam jarak satu meter. Dan
aku mendapat ide untuk mengetahui tempat dia akan beristirahat.
Aku
adalah penggemar berat Alan Chistian. Dia adalah pria yang sangat tampan,
pandai dan sangat ramah – tamah. Sudah setahun ini aku terus mengikuti
perkembangan Alan dan ini akhirnya, bisa melihat wajahnya secara langsung apa
lagi bisa memegang wajahnya.
Dengan
sepeda motor yang aku kendarai sendiri menuju bandara, aku juga mulai mengikuti
mobil yang membawa Alan dan ternyata bukan hanya aku saja yang memiliki ide
untuk mencaritahu tempat peristirahatan Alan tapi juga beberapa anak – anak
remaja mengikuti mobil Alan. Dan saat itu juga kejadian naas itu terjadi...
Aku
memacu kendaraanku dengan kecepatan 70km/jam dan itu masih belum bisa
mengalahkan kecepatan mobil yang membawa Alan itu. Aku berusaha mendekati mobil
itu tapi tidak bisa. Akhirnya aku memberanikan diriku untuk melebihi kecepatan
kendaraanku dari yang sebelumnya. Terfokus pada mobil yang membawa Alan, aku
bahkan tidak menyadari kalau lampu lalu lintas yang ada di depanku saat itu
sudah berubah menjadi merah dan yang kuingat saat itu hanya lampu terang yang
sangat cepat menuju kearahku.
***
Aku
melihat kesekelilingku, aku melihat kedua orangtuaku hanya berdiri di belakang
orang-orang yang tak aku kenal sambil terus mengarahkan kameranya padaku,
begitu juga dengan kakak perempuanku – Raisa yang dari tadi hanya tersenyum
tipis padaku.
“Apa
komentar anda nona Raika?” seorang perempuan yang kira – kira seumuran dengan
Raisa mencoba mengajakku bicara.
“A...
Hmm...” hanya gumaman yang keluar dari mulutku. Aku bingung harus menjawab apa
karena aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Biarkan
dia istirahat dulu.Wawancara itu bisa kapan sajakan?” suara itu terdengar
kembali. Suara yang sama dengan suara yang aku dengar waktu itu.
Aku
berusaha memicingkan mata, memfokuskankan pengelihatanku pada pintu dan
masuklah seorang pria dengan stelan jas. Ia berjalan mendekatiku perlahan tapi
pasti dan aku bisa katakan dengan penuh keyakinan kalau itu adalah Alan
Chistian.
Aku
bahkan perlu memperhatikannya dengan seksama agar aku tidak keliru kalau itu
benar-benar Alan Chistian. Ia berbicara pada kru yang ada di kamar itu lalu
kru-kru itu pergi, mungkin karena aku terlalu fokus padanya sehingga aku tidak
mendengar apa yang ia katakan. Sadar-sadar tangannya sudah menjulur padaku.
“Ayo
kita pergi dari sini. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang indah” lalu ia
tersenyum padaku.
Tanpa
sadar aku meraih tangannya dan ikut bersamanya. Ia membuka pintu mobil lalu ia
memasangkan sabuk pengaman padaku. Masih belum ada kata-kata yang keluar dari
mulutku. Ia memacu mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit. Sepanjang jalan ia
hanya diam begitu juga denganku dan sampailah kami di sebuah danau. Lalu ia
turun dari mobil, aku hanya melihat ke arahnya dan berinisiatif untuk turun
juga.
Aku
berdiri di sebelahnya, melihatnya dari samping ia kelihatan sangat tampan
bahkan lebih tampan daripada ketika aku melihatnya di televisi. Lalu tiba-tiba
ia melihat ke arahku dan aku sangat kaget dengannya.
“Jangan
anggap semua ini sungguhan. Ini hanya permainan untuk menaikkan rating filmku.
Ingat! Ini hanya permainan. Jangan pernah kau menganggap kalau aku benaran suka
denganmu!” Alan tiba-tiba membentakku.
Senyuman
yang sedari tadi terus menghiasi wajahku langsung lenyap begitu saja. Aku
sangat terkejut dengan sikapnya yang sangat berbeda 180ยบ dari yang aku lihat di
televisi. Tanpa sadar yang muncul dari wajahku adalah wajah kekesalan.
“Kau
dengar aku tidak?” ia tersenyum “Aku tahu kau adalah penggemar beratku. Ketika
pertama kali kita ketemu langsung aku bisa membaca wajahmu kalau kau suka
denganku. Iyakan?!” ia kembali tersenyum. “Tapi jangan harap kalau aku akan
jatuh cinta dengan cewek biasa sepertimu.”
Seketika
itu juga aku langsung menamparnya. Enak saja ia berkata seperti itu, kalau aku
tahu dia mempunyai sikap seperti itu lebih baik aku tidak perlu
mengidolakannya. Tanpa mengatakan apapun aku pergi meninggalkannya.
Ia
memegangi pipi kanannya yang memerah akibat tamparanku karena kesal ia menarik
tanganku dengan keras lalu spontan aku injak kaki kirinya dan itu cukup
berhasil membuatnya melepaskan genggamannya padaku. Lalu ia kembali mengejarku
dan langsung berusaha menciumku tentu saja dengan susah payah aku melawannya.
“Bukankah
ini yang kau inginkan! Dicium oleh idola
terkenal
sepertiku!”
Aku
pun akhirnya menggigit bibirnya sangking kesalnya. Aku benar-benar tidak pernah
bertemu dengan orang sebrengsek dia. Ia mengatasnamakan seorang idola tapi sikapnya ini
tidak lebih dari seorang maniak mesum.
Aku
meninggalkannya, di belakang aku mendengarnya berteriak kepadaku dan aku tetap
tidak menghiraukannya.
“Lihat
saja nanti, aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi. Jangan harap seumur
hidupmu bisa bertemu denganku!!!” itu kata terakhir yang aku dengar darinya.
***
“Kapan
aku bisa keluar dari rumah sakit?” aku menanyakan hal itu berulang kali kepada
Raisa. Aku sudah merasa sangat bosan dengan keadaan di rumah sakit.
“Nanti”
itu jawaban singkat dari Raisan sambil terus membaca majalahnya yang baru saja
ia beli.
Aku
menghela nafas “Apa kau tidak bisa tidak usaha membaca majalah itu di depanku?”
“Kenapa?”
“Kenapa?
Tentu saja karena cover depan majalahmu
muka si brengsek itu!”
Ia
melihat cover majalah itu dan wajah Alan terpampang di halaman depan majalah
itu “Oh... bukannya kau sangat suka padanya. Sekarang nikmati keberuntunganmu
saat ini.”
“Keberuntungan?!
Ini bukan keberuntungan tapi kesialan?!”
“Memangnya
kenapa kau? Baru di bawa pergi satu kali saja sudah merasa kalau Alan sudah
jadi milikmu.” Ia masih belum beranjak dari bacaannya.
“Itu
karena? Karena? Arg! Lupakan saja!”
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka dan begitu banyak wartawan masuk ke dalam dan di depan
wartawan-wartawan itu ada si Brengsek Sialan itu – Alan. Melihat hal itu Raisa
langsung bangkit dari tempat duduknya.
“Ini
dia gadis yang beruntung yang akan kencan denganku dalam sehari penuh ini”
Aku
hanya bisa ternganga kesal...
***
Alan
berusaha menemukan sebuah baju yang cocok denganku di sebuah butik yang cukup
terkenal di kotaku dan aku hanya bisa diam menatapnya.
“Aku
sudah menemukannya!” ia tampak kegirangan. “Cobalah ini, pasti akan sangat
cantik ketika kau memakainya.”
Aku
berjalan perlahan menujunya dan memegang baju ini lalu ia menarik tanganku
“Berusahalah untuk tersenyum selama seharian penuh ini.” Berikut dengan nada
menjengkelkannya itu.
Aku
meliriknya lalu pergi ke ruang ganti sambil membawa baju itu. di dalam ruang
ganti aku hanya bisa mencibirnya. Aku harus tenang, itu yang ada di dalam
pikiranku saat ini. Setelah selesai aku memakai baju itu aku keluar. Aku sangat terkejut karena baju
itu sangat pas denganku. Alan tahu memprediksikan ukuran bajuku???
“Sangat
cantik! Aku sangat suka” itu
yang keluar dari mulutnya bukan ejekan atau hinaan yang keluar. Ia tersenyum
padaku dan seketika itu dalam hitungan beberapa detik aku sempat terpesona
dengan senyumannya itu.
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku dan aku hadir ke dalam dunia nyata lagi. Dia
bukan seorang pangeran tapi di seorang penjagal. Lalu kami pergi ke danau tempat kami dulu
berkelahi. Kami berdua duduk di pinggir danau untuk pengambilan gambar.
Pura-pura ngobrol dengan asyik saling mengakrabkan diri.
Aku
dan Alan saling mengucapkan terima kasih pada para kru. Setelah para kru pergi
tinggallah kami berdua.
“Bersabarlah
sedikit, tinggal bagian makan malam lagi setelah itu kita tidak akan bertemu
lagi” kali ini cara bicaranya tidak begitu menjengkelkan seperti yang
kemarin-kemarin.
Ia
melihat ke arahku dan aku mengacuhkannya, aku hanya melihat ke arah danau. Dan
sepertinya ia menunggu jawabanku karena tidak ada jawaban ia pergi. Tidak jauh
ia pergi tiba-tiba aku ingin mengerjainya.
“Tolong!”
aku menceburkan diriku ke danau dan pura-pura tidak bisa berenang.
Aku
melihatnya hanya berdiam diri di atas sekilas aku melihat wajah panik darinya.
Ia melihat kesekelilingnya tidak ada orang dan akhirnya ia menceburkan dirinya.
Dan bukannya datang menyelamatkanku ia malah meminta tolong juga. Ternyata ia
tidak bisa berenang.
Secepat
kilat aku berenang mendekatinya, membawanya ke pinggir danau. Ia pingsan, aku
pun mulai panik. Aku mendekatkan telingaku ke hidungnya dan tidak terdengar ada
nafasnya. Aku melihat kesekelilingku dan tetap tidak ada orang. Akhirnya aku
memberikan nafas buatan untuknya, aku memang tidak tahu caranya tapi tidak ada
salahnya mencoba.
Beberapa
kali aku memberinya nafas buatan akhirnya ia sadar. Ia terbatuk dan sadar lalu
tanpa sadar aku memeluknya sambil menangis.
“Maafkan
aku... maafkan aku... maafkan aku” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku
selain tangisan.
***
Alan
lalu berdiri mendekatiku dan menuju ke arah belakangaku lalu ia memasangkan
sebuah kalung yang sangat indah. Setelah itu ia kembali ke tempat duduknya
sambil terus menebarkan senyumannya padaku.
Saat
pertama kali aku sampai di danau itu, pinggiran danau itu sudah di sulap oleh
para kru menjadi sebuah tempat yang sangat indah. Di pinggir danau terdapat
sebuah meja makan dan dua buah kursi dengan beberapa hidangan yang terlihat
sederhana tapi sangat enak. Aku ingat ketika baju indah ini sampai di rumahku
dan aku membaca surat yang ada di dalamnya.
“Aku
harap kau mau memakai baju ini. Alan” itu isi suratnya. Tapi sepertinya
sangat berarti bagiku.
Aku
mendekat, semakin dekat dengan tempat duduk itu, lalu Alan datang tiba-tiba di
belakangaku dan mempersilahkanku duduk. Ia tampak kelihatan sangat tampan
dengan setelan jas yang ia gunakan.
Lalu
ia berbisik padaku “Kau sangat cantik malam ini.”
Tanpa
sadar aku tersenyum. Alan yang aku lihat malam itu adalah Alan yang selalu aku
impikan selama ini sangat berbeda dengan Alan yang aku temui beberapa hari
lalu. Dan kami mulai berbincang-bincang dengan santai menikmati malam itu.
Sampai
acara pengambilan gambar untuk sebuah reality show itu selasai kami masih
nyaman dengan keadaan saat itu. Semua kru sudah mulai bersiap-siap untuk
pulang.
“Boleh
aku meminta satu hal padamu?” tanya Alan padaku.
“Tentu
saja. Apa?”
“Aku
ingin kau selalu menyimpan kalung itu selamanya.”
Aku
tersenyum “Aku akan selalu menyimpannya.”
Ia
menatapku “Tapi aku ingin kau bukan hanya menyimpan kalung itu di dalam lemari
atau laci di kamarmu tapi yang aku inginkan adalah kau selalu menyimpan kalung
itu di dalam hatimu.”
Aku
sedikit heran dengan perkataan Alan “Tapi kalung tidak bisa di simpan di ha-”
kata-kata itu terhenti ketika Alan langsung menciumku.
TAMAT